KRIMINALITAS ANAK
Ironis, dalam satu minggu
Selama bulan Agustus kemarin telah terjadi dua pencurian yang pelakunya adalah
anak baru gede (ABG). Yaitu pada hari senin, 24 Agustus 2009 pukul 10.30 WIB,
dua ABG tertangkap satpam mencuri helm di parkiran RSBT. Menurut pelaku, ini
merupakan aksi yang kedua kalinya ditempat yang sama, dimana aksi yang pertama
berhasil dan helm tersebut dijual dengan harga Rp. 50 ribu. Pelaku mengaku
mencuri karena butuh uang jajan. Kemudian pada Kamis, 27 Agustus 2009 pukul
13.30 WIB, remaja putus sekolah tertangkap basah mengambil makanan ringan,
sebungkus rokok dan uang belasan ribu dari dari sebuah warung di kelurahan
Pintu Air Pangkalpinang. Pemeriksaan kedua kasus di atas harus mengacu pada UU
Perlindungan dan UU Peradilan anak. Apabila kemudian di putus hakim terbukti
bersalah, maka pendekatan pendidikanlah diperlukan dalam pembinaan selama
menjalani hukumannya. Oleh karena itu keberadaan LAPAS anak menjadi kebutuhan
yang mendesak di propinsi ini.
Dua kejadian di atas, hanyalah sebagian saja yang kebetulan terekspos oleh
media massa. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG,
baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda. Dalam ilmu kriminologi
dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik kriminal
kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan pelanggaran
yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal karena beberapa
hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah diselesaikan
secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW saja,
mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa hal
tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak
ketahuan/tertangkap.
Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.
Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.
Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri.
Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.
Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba.
Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa adanya
Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.
Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan.
Nama : Jody Fitrian Pradipta
Kelas : 1KA02
NPM : 13112946
MATKUL : Ilmu Sosial Dasar